A. Pengertian Branchless Banking (BB)
Branchless
Banking (BB) adalah layanan perbankan tanpa perlu membuka kantor cabang.
Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya layanan perbankan. Perluasan jaringan
perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau lokasi yang
terpencil di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang potensial yang
bersifat non-konvensional, hal ini disebabkan perbankan kita saat ini masih
bersifat konvensional. Masalah permodalan dalam sistem bank konvensional
merupakan hambatan utama dalam
meningkatkan layanan jasa keuangan. Pendekatan non-konvensional seperti
perkembangan e-banking, SMS banking atau mobile banking sudah diterapkan pada
bank-bank besar namun terkendala pada saat pembukaan rekening (diharapkan
kedepannya bisa dilakukan secara elektronik). BB merupakan terobosan yang
bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan
Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh
perbankan melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi.
Perkembangan industri telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di
Indonesia ternyata sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila
dibandingkan dengan jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun
2011).
Elemen yang terkait dengan Branchless Banking
adalah:
1. Banking agent yang berfungsi sebagai unit
terdepan Bentuk banking agent juga sangat beragam bisa berbentuk koperasi,
toko, dll atau lembaga keuangan selain bank. Namun yang paling penting adalah
dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian masyarakat.
2. Provider telekomunikasi dalam hal ini mobile
banking ada di dalam teknologi ini.
3. Masyarakat di luar
nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang kedepannya akan disinergikan dengan Kartu
Identitas Penduduk yang dikeluarkan oleh Kemendagri
Implementasi dari Branchless
Banking :
1. Bank Sinar Harapan Bali telah diakuisisi oleh
Bank Mandiri dimana bank ini adalah pilot project layanan BB bertajuk SinarSip.
2. Perkembangan e-Money, beberapa bank seperti
Bank Mandiri dengan produknya “e-Toll
dan e-Money”, Bank Central Asia dengan produknya “Flazz”, Bank Rakyat
Indonesia, Bank Niaga, dll memberikan kemudahan dengan membeli kartu-kartu
tersebut, masyarakat dapat membelanjakan dan diisi ulang dengan menggunakan uang cash di merchant yang sudah
ditunjuk, juga di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Sehingga tidak perlu
memiliki rekening di bank untuk memiliki kartu tersebut.
3. Bank Muamalat Tahun 2005 memperkenalkan
layanan Shar-e dimana kartu ini untuk
memenuhi keinginan nasabah yang ingin memiliki akses ke syariah.Sulitnya
membuka cabang bank syariah membuat kartu ini sangat diminati. Pengisian kartu
Shar-e dapat dilakukan melalui outlet PT. Pos Indonesia maupun ATM BCA dan ATM bersama. Lonjakan costumer
mencapai 700% namun lemahnya misi dan terbatasnya perkembangan bank
syariah menyebabkan program ini tidak berjalan lama.
Studi-studi
yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi,
perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan beberapa hal kenapa
perlunya BB. Berikut kami sampaikan kenapa BB :
1. Seperti halnya dinegara negara
berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat
bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali.
Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari
populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina
75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah
dari Indonesia.
2. Pembukaan kantor bank yang
memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai
gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5
milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor
3. Konsentrasi
lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal
ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat
menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan
area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank
melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.
4. Persepsi masyarakat bawah
terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk
mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian
bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service)
yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung
melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi
dan perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :
a. Berhubungan dengan bank
harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b. Harus meluangkan waktu khusus ke
bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c. Prosedur berhubungan dengan
bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d. Harus antre untuk
bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik
dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000,--
e. Biaya transaksi yang mahal,
misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000,--
f. Produk atau layanan bank tidak
dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g. Ada kecenderungan diskriminasi
dalam pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga
layanan yang diterima berbeda.
5. Potensi besar segmen bawah
yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian
besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang
masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang lebih
sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini. Apabila
jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali dalam
bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak perekonomian
yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI pun akan
dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui branchless
banking.
6. Kemajuan teknologi khusus dalam
berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan
telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan
timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk
menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan -
keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.
A. Keuangan
Inklusif (Financial Inclusion/FI)
Muhammad Yunus, banker
dan ekonom Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro dan microfinance sebagai cara pembiayaan
bagi kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses kepada pinjaman bank
tradisional dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian 2006. Mereka adalah
kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pinjaman bank. Tapi
Muhammad Yunus berani memberikan pinjaman kepada mereka. Terbukti, mereka
bisa dipercaya dan program ini berhasil mengangkat derajat dan kondisi ekonomi
mereka yang selama ini tidak pernah disentuh oleh perbankan.
Dalam International Microfinance Conference,
Yogyakarta 22-23 Oktober 2012, pemaparan yang beliau sampaikan bertajuk
“Microfinance as a Social Business: A Way to Solve Society’s Most Pressing
Problems” yakni aktivitas bisnis sosial sama atau bahkan bisa bermakna
lebih dari filantrofis karena kegiatan bisnis sosial dapat meningkatkan tingkat
kemandirian ekonomi. Filantrofis memberikan uang, tetapi orang yang menerimanya cenderung tidak mendapatkan uang
itu kembali. Sedangkan, bisnis sosial memberikan uang dan orang yang menerimanya
bisa mendapatkan uang itu kembali. Keuangan mikro, kredit mikro,
dan keuangan inklusif bukan merupakan tujuan akhir namun berkurangnya
kemiskinan, pengangguran.
Di Indonesia penerapan pembiayaan mikro
melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terbukanya akses keuangan terhadap
masyarakat lapisan bawah merupakan suatu pendekatan untuk mengurangi
kesenjangan sosial, sehingga dapat tercipta pertumbuhan ekonomi berkualitas dan
berkelanjutan. Hasil Riset BI tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar 120 juta
atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa
perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional
yang mencakup 32 juta jiwa belum
tersentuh layanan perbankan. FI bertujuan untuk menjangkau kalangan
pra-mikro atau masyarakat yang bahkan tidak memiliki pekerjaan dan tidak pernah
memiliki usaha apapun. Riset Bank Dunia tahun 2011 berhasil menjawab masalah mengapa masyarakat
berpenghasilan rendah belum membutuhkan layanan perbankan atau lembaga
keuangan, yakni :
1. Merasa belum memiliki uang yang cukup
2. Belum memiliki pekerjaan tetap / pengangguran
3. Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan
dengan bank atau lembaga keuangan lainnya
4. Merasa tidak layak meminjam
5. Tidak membutuhkan kredit
6. Tidak memiliki jaminan
untuk memeroleh pinjaman
7. Tidak memiliki kemampuan
untuk membayar cicilan utang
8. Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
seluk beluk pinjaman di bank
9. Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit bank
B. Keuangan Mikro (Microfinance)
Director of Microcredit Summit Campaign, Larry
Reed, dalam International Microfinance Conference tahun 2012 di Yogyakarta
menyebut microfinance terbukti ampuh menekan tingkat kemiskinan dan
pengangguran, serta mengurangi kesenjangan, dimana Brasil adalah contoh suksesnya memberdayakan keuangan mikro
dimana jumlah penduduk miskin berkurang secara signifikan.
Peran krusial perbankan dalam pengembangan
sistem keuangan mikro merupakan suatu keniscayaan, hal ini disebabkan perbankan
tidak sekedar menjadi pemberi pinjaman, tetapi juga mengedukasi
masyarakat agar semakin melek finansial. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank
Bangladesh mengatakan perbankan menjalankan aktivitas pembiayaan mikro
(microbanking) memiliki dua sisi yakni sisi bisnis dan sisi sosial. Sisi
bisnis pembiayaan mikro ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah
bersifat komersial lantaran mengambil profit dari suku bunga pinjaman.
Dari sisi sosial, perbankan menjadi agen literasi finansial yang membuka mata masyarakat terhadap sumbangsih produk pembiayaan
untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagai bisnis sosial microfinance telah
menjelma menjadi fenomena global dimanakegiatan bisnis berjalan sembari
memberdayakan kaum papa lewat pemberian modal usaha.
Microfinance dikenalkan kepada masyarakat Indonesia melalui
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Program ini bergulir di tahun 2007 dimana pelaku
usaha mikrokecil dan
menengah (UMKM) dapat memanfaatkan program KUR. Data
kementerian Koperasi dan UKM jumlah koperasi di tahun
2011 sebanyak 188.181 unit,sementara di Juni 2012 meningkat
menjadi 192.443 unit dg jumlah anggota 33.68 juta orang.
Dari survey yang dilakukan dapat dijelaskan
bahwa pelayanan, proses yang cepat dan memuaskan serta persyaratan yang mudah, merupakan
hal yang paling utama yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha mikro.
a) Undisbursed Loan Usaha Mikro
Semakin ramainya perbankan mengemas dan
menjual kredit ke pengusahamikro merupakan
kondisi positif. Tapi, hal yang perlu diperhatikan “ketidakmampuan
usaha mikro” dalam menyerap kredit yang sudah disetujui. Kelonggaran tarik
kredit untuk “undisbursed loan” usaha mikro sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72 triliun naik
menjadi Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga, rasionya
juga meningkat dari 3,2% menjadi 3,6% selama periode yang sama. Di sisi
lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun pada tahun
2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat melonjak
jadi Rp300 triliun.
Dari sisi kualitas, NPL (non-performing loan)
kredit UMKM mencapai 4,11%, lebih tinggi dari triwulan II-2012 sebesar 3,78%.
Namun NPL kredit UMKM tersebut lebih rendah dibandingkan posisi Agustus 2011
sebesar 4,70%. Tren menunjukkan rasio NPL milik bank asing dan bank campuran
untuk membiayai usaha mikro ini lebih kecil dibanding bank negara dan swasta,
yang implisitmenunjukkan mereka lebih baik
dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi ada di sektor
perikanan dan perdagangan. Potret pasar perkreditan dengan undisbursed loan
berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional,
yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal
ini terkait dengan masalah perkembangan prospek ekonomi,
kelaikan industri atau manajemen produksi, bahan baku sampai masalah
pemasaran. Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus pada
pembiayaan saja, tapi ada di luar aspek pembiayaan. Pada sisi inilah, perlu
dorongan dan bantuan lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah
affirmative action. Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus
kepada nasabah usaha mikro dengan disokong pembiayaan mikro.
b) Hambatan Keuangan Mikro di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh A.Prasetyantoko
(dekan Unika Atmajaya) dan Jay Rosengard, Profesor dari Harvard Kennedy School
(HKS) pada 2011 terhadap lalu sektor
mikro :
1. Sulitnya mencari pinjaman
2. Kekurangan likuditas.
Namun hambatan ini hanya bersifat anomali disebabkan
perbankan kita sangat likuid, solven dan profitable, sementara stabilitas makro
ekonomi juga baik. Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan
seperti yang diharapkan. Secara mikro, kredit ke sektor mikro begitu minim.
Fakta ini memiliki implikasi yakni:
1. Tidak ada sektor usaha menengah yang kuat
di Indonesia. Struktur dunia usaha di Indonesia begitu rapuh, kosong di bagian
tengahnya (missing middle).
2. Kesenjangan terus akan
terjadi, mengingat pertumbuhan ekonomi cenderung memperbanyak jumlah orang
ultra-kaya (highly net worth individuals).
Akibatnya sektor mikro di Indonesia mengalami
credit crunch. Artinya, meskipun likuditas ada, tetapi bank enggan menyalurkan
kredit ke sektor tersebut. Karena mengelola keuangan mikro sulit, tidak bisa
mengikuti prinsip- prinsip yang lazim digunakan pada kredit besar. Secara
teoritis, kredit mikro memiliki ciri yang sangat menonjol, yaitu informasi yang
tersedia mengenai debitur sangat minim. Itulah yang dinamakan sebagai
asymmetric information atau informasi yang tidak simetris. Perbankan memilih
untuk menghindari sektor mikro
kalaupun ada, suku bunganya menjadi sangat tinggi.
c) Prospek Keuangan mikro ke depan
Keuangan mikro masih
memilik prospek yang menjanjikan berdasarkan maka jumlah unit usaha yang tergolong dalam
usaha mikro berjumlah 98,88% terhadap total entitas bisnis yang ada.
Berdasarkan kriteria yang ada dalam UU
No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kriteria unit usaha
yang bisa digolongkan sebagai usaha besar hanya 0,01%, sementara yang masuk
dalam kategori usaha menengah hanya 0,08 persen. Meskipun entitasnya banyak,
namun kontribusi usaha mikro di Indonesia masih sangat kecil, baik
dari sisi sumbangan terhadap PDB maupun sumbangan pada ekspor. Padahal, usaha
mikro menyerap tenaga kerja cukup banyak, yaitu 91,03 persen. Dilihat
dari populasinya yang besar, jelas usaha mikro adalah wilayah yang belum
terjamah. Memang untuk menjangkaunya sulit,
karena medannya memang berbeda. Usaha mikro cenderung bersifat informal,
sehingga untuk menetapkan syarat harus memiliki izin usaha, agak sulit
dilakukan. Dan, karena itu, umumnya sektor mikro tidak terjamah oleh kredit dari sektor perbankan modern. Mereka
biasanya mengakses sumber kredit yang bersifat informal pula,
seperti pinjaman ke saudara, koperasi, credit unions dan bahkan ke rentenir
(lintah darat). Mereka rela membayar bunga pinjaman kredit yang begitu
tinggi, karena memang mereka tidak mampu mengakses kredit dengan persyaratan
formal. Mereka ini adalah kelompok informal, jadi sumber keuangannya juga
bersifat informal. Solusinya adalah menginformalkan, sebab mereka tidak
memiliki jaminan. Perbankan modern
harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti koperasi,
asosiasi, dan sebagainya sebagai penyalur (channeling). Keuangan mikro meskipun
memiliki prospek yang bagus, tetapi membutuhkan revolusi dalam pengelolaannya.
Oleh sebab itu, kelompok-kelompok yang mendampingi usaha mikro yang bersifat
informal itu juga harus bergerak dalam kerangka pemberdayaan.