Rabu, 06 Mei 2015

Branchless Banking (TUGAS 2)



A.  Pengertian Branchless Banking (BB)
            Branchless Banking (BB) adalah layanan perbankan tanpa perlu membuka kantor cabang. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya layanan perbankan. Perluasan  jaringan perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau lokasi yang terpencil di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang potensial yang bersifat non-konvensional, hal ini disebabkan perbankan kita saat ini masih bersifat konvensional. Masalah permodalan dalam sistem bank konvensional merupakan hambatan utama dalam meningkatkan layanan jasa keuangan. Pendekatan non-konvensional seperti perkembangan e-banking, SMS banking atau mobile banking sudah diterapkan pada bank-bank besar namun terkendala pada saat pembukaan rekening (diharapkan kedepannya bisa dilakukan secara elektronik). BB merupakan terobosan yang bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh  perbankan melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan dengan  jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun 2011).
Elemen yang terkait dengan Branchless Banking adalah:
1.      Banking agent yang berfungsi sebagai unit terdepan Bentuk banking agent juga sangat beragam bisa berbentuk koperasi, toko, dll atau lembaga keuangan selain bank. Namun yang paling penting adalah dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian masyarakat.
2.      Provider telekomunikasi dalam hal ini mobile banking ada di dalam teknologi ini.
3.      Masyarakat di luar nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang kedepannya akan disinergikan dengan Kartu Identitas Penduduk yang dikeluarkan oleh Kemendagri
           
         Implementasi dari Branchless Banking  :
1.      Bank Sinar Harapan Bali telah diakuisisi oleh Bank Mandiri dimana bank ini adalah pilot project layanan BB bertajuk SinarSip.
2.      Perkembangan e-Money, beberapa bank seperti Bank Mandiri dengan produknya “e-Toll dan e-Money”, Bank Central Asia dengan produknya “Flazz”, Bank Rakyat Indonesia, Bank Niaga, dll memberikan kemudahan dengan membeli kartu-kartu tersebut, masyarakat dapat membelanjakan dan diisi ulang dengan menggunakan uang cash di merchant yang sudah ditunjuk, juga di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Sehingga tidak perlu memiliki rekening di bank untuk memiliki kartu tersebut.
3.      Bank Muamalat Tahun 2005 memperkenalkan layanan Shar-e dimana kartu ini untuk memenuhi keinginan nasabah yang ingin memiliki akses ke syariah.Sulitnya membuka cabang bank syariah membuat kartu ini sangat diminati. Pengisian kartu Shar-e dapat dilakukan melalui outlet PT. Pos Indonesia maupun ATM BCA dan ATM bersama. Lonjakan costumer mencapai 700% namun lemahnya misi dan terbatasnya perkembangan bank syariah menyebabkan  program ini tidak berjalan lama.
Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan beberapa hal kenapa perlunya BB. Berikut kami sampaikan kenapa BB :

1. Seperti halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.

2. Pembukaan kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor

3. Konsentrasi lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.

4. Persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :

a. Berhubungan dengan bank harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b. Harus meluangkan waktu khusus ke bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c. Prosedur berhubungan dengan bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d. Harus antre untuk  bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000,--
e. Biaya transaksi yang mahal, misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000,--
f. Produk atau layanan bank tidak dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g. Ada kecenderungan diskriminasi dalam pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga layanan yang diterima berbeda.

5. Potensi besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini. Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali dalam bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak perekonomian yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI pun akan dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui branchless banking.

6. Kemajuan teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.

A.  Keuangan Inklusif (Financial Inclusion/FI)
Muhammad Yunus, banker dan ekonom Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro dan microfinance sebagai cara pembiayaan bagi kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses kepada pinjaman bank tradisional dianugerahi  penghargaan Nobel Perdamaian 2006. Mereka adalah kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pinjaman bank. Tapi Muhammad Yunus berani memberikan  pinjaman kepada mereka. Terbukti, mereka bisa dipercaya dan program ini berhasil mengangkat derajat dan kondisi ekonomi mereka yang selama ini tidak pernah disentuh oleh perbankan.
Dalam International Microfinance Conference, Yogyakarta 22-23 Oktober 2012,  pemaparan yang beliau sampaikan bertajuk “Microfinance as a Social Business: A Way to Solve Society’s Most Pressing Problems” yakni aktivitas bisnis sosial sama atau  bahkan bisa bermakna lebih dari filantrofis karena kegiatan bisnis sosial dapat meningkatkan tingkat kemandirian ekonomi. Filantrofis memberikan uang, tetapi orang yang menerimanya cenderung tidak mendapatkan uang itu kembali. Sedangkan, bisnis sosial memberikan uang dan orang yang menerimanya bisa mendapatkan uang itu kembali. Keuangan mikro, kredit mikro, dan keuangan inklusif bukan merupakan tujuan akhir namun berkurangnya kemiskinan, pengangguran.
Di Indonesia penerapan pembiayaan mikro melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terbukanya akses keuangan terhadap masyarakat lapisan bawah merupakan suatu  pendekatan untuk mengurangi kesenjangan sosial, sehingga dapat tercipta pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan. Hasil Riset BI tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar 120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa  perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh layanan perbankan. FI bertujuan untuk menjangkau kalangan pra-mikro atau masyarakat yang bahkan tidak memiliki pekerjaan dan tidak pernah memiliki usaha apapun. Riset Bank Dunia tahun 2011 berhasil menjawab masalah mengapa masyarakat berpenghasilan rendah belum membutuhkan layanan perbankan atau lembaga keuangan, yakni :
1.      Merasa belum memiliki uang yang cukup
2.      Belum memiliki pekerjaan tetap / pengangguran
3.      Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lainnya
4.      Merasa tidak layak meminjam
5.      Tidak membutuhkan kredit
6.      Tidak memiliki jaminan untuk memeroleh pinjaman
7.      Tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan utang
8.      Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk pinjaman di bank
9.      Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit bank

B.      Keuangan Mikro (Microfinance)
Director of Microcredit Summit Campaign, Larry Reed, dalam International Microfinance Conference tahun 2012 di Yogyakarta menyebut microfinance terbukti ampuh menekan tingkat kemiskinan dan pengangguran, serta mengurangi kesenjangan, dimana Brasil adalah contoh suksesnya memberdayakan keuangan mikro dimana jumlah  penduduk miskin berkurang secara signifikan.
Peran krusial perbankan dalam pengembangan sistem keuangan mikro merupakan suatu keniscayaan, hal ini disebabkan perbankan tidak sekedar menjadi pemberi  pinjaman, tetapi juga mengedukasi masyarakat agar semakin melek finansial. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank Bangladesh mengatakan perbankan menjalankan aktivitas pembiayaan mikro (microbanking) memiliki dua sisi yakni sisi  bisnis dan sisi sosial. Sisi bisnis pembiayaan mikro ditujukan bagi masyarakat  berpenghasilan rendah bersifat komersial lantaran mengambil profit dari suku bunga  pinjaman. Dari sisi sosial, perbankan menjadi agen literasi finansial yang membuka mata masyarakat terhadap sumbangsih produk pembiayaan untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagai bisnis sosial microfinance telah menjelma menjadi fenomena global dimanakegiatan bisnis berjalan sembari memberdayakan kaum papa lewat pemberian modal usaha.

Microfinance dikenalkan kepada masyarakat Indonesia melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program ini bergulir di tahun 2007 dimana pelaku usaha mikrokecil dan menengah (UMKM) dapat memanfaatkan program KUR. Data
kementerian Koperasi dan UKM jumlah koperasi di tahun 2011 sebanyak 188.181 unit,sementara di Juni 2012 meningkat menjadi 192.443 unit dg jumlah anggota 33.68 juta orang.
Dari survey yang dilakukan dapat dijelaskan bahwa pelayanan, proses yang cepat dan memuaskan serta persyaratan yang mudah, merupakan hal yang paling utama yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha mikro.

a)    Undisbursed Loan Usaha Mikro
 Semakin ramainya perbankan mengemas dan menjual kredit ke pengusahamikro merupakan kondisi positif. Tapi, hal yang perlu diperhatikan “ketidakmampuan usaha mikro” dalam menyerap kredit yang sudah disetujui. Kelonggaran tarik kredit untuk “undisbursed loan” usaha mikro sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72 triliun naik menjadi Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga, rasionya juga meningkat dari 3,2% menjadi 3,6% selama  periode yang sama. Di sisi lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun  pada tahun 2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat melonjak jadi Rp300 triliun.
Dari sisi kualitas, NPL (non-performing loan) kredit UMKM mencapai 4,11%, lebih tinggi dari triwulan II-2012 sebesar 3,78%. Namun NPL kredit UMKM tersebut lebih rendah dibandingkan posisi Agustus 2011 sebesar 4,70%. Tren menunjukkan rasio NPL milik bank asing dan bank campuran untuk membiayai usaha mikro ini lebih kecil dibanding bank negara dan swasta, yang implisitmenunjukkan mereka lebih baik dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi ada di sektor perikanan dan perdagangan. Potret pasar perkreditan dengan undisbursed loan berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional, yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal ini terkait dengan masalah  perkembangan prospek ekonomi, kelaikan industri atau manajemen produksi, bahan  baku sampai masalah pemasaran. Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus  pada pembiayaan saja, tapi ada di luar aspek pembiayaan. Pada sisi inilah, perlu dorongan dan bantuan lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah affirmative action. Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus kepada nasabah usaha mikro dengan disokong pembiayaan mikro.
b)   Hambatan Keuangan Mikro di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh A.Prasetyantoko (dekan Unika Atmajaya) dan Jay Rosengard, Profesor dari Harvard Kennedy School (HKS) pada 2011 terhadap lalu sektor mikro :
1. Sulitnya mencari pinjaman
2. Kekurangan likuditas.  
Namun hambatan ini hanya bersifat anomali disebabkan perbankan kita sangat likuid, solven dan profitable, sementara stabilitas makro ekonomi juga baik. Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Secara mikro, kredit ke sektor mikro begitu minim. Fakta ini memiliki implikasi yakni:
1. Tidak ada sektor usaha menengah yang kuat di Indonesia. Struktur dunia usaha di Indonesia begitu rapuh, kosong di bagian tengahnya (missing middle).
2. Kesenjangan terus akan terjadi, mengingat pertumbuhan ekonomi cenderung memperbanyak jumlah orang ultra-kaya (highly net worth individuals).
Akibatnya sektor mikro di Indonesia mengalami credit crunch. Artinya, meskipun likuditas ada, tetapi bank enggan menyalurkan kredit ke sektor tersebut. Karena mengelola keuangan mikro sulit, tidak bisa mengikuti prinsip- prinsip yang lazim digunakan pada kredit besar. Secara teoritis, kredit mikro memiliki ciri yang sangat menonjol, yaitu informasi yang tersedia mengenai debitur sangat minim. Itulah yang dinamakan sebagai asymmetric information atau informasi yang tidak simetris. Perbankan memilih untuk menghindari sektor mikro kalaupun ada, suku bunganya menjadi sangat tinggi.
c)    Prospek Keuangan mikro ke depan
Keuangan mikro masih memilik prospek yang menjanjikan berdasarkan maka  jumlah unit usaha yang tergolong dalam usaha mikro berjumlah 98,88% terhadap total entitas bisnis yang ada. Berdasarkan kriteria yang ada dalam UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kriteria unit usaha yang bisa digolongkan sebagai usaha besar hanya 0,01%, sementara yang masuk dalam kategori usaha menengah hanya 0,08 persen. Meskipun entitasnya banyak, namun kontribusi usaha mikro di Indonesia masih sangat kecil, baik dari sisi sumbangan terhadap PDB maupun sumbangan pada ekspor. Padahal, usaha mikro menyerap tenaga kerja cukup  banyak, yaitu 91,03 persen. Dilihat dari populasinya yang besar, jelas usaha mikro adalah wilayah yang belum terjamah. Memang untuk menjangkaunya sulit, karena medannya memang berbeda. Usaha mikro cenderung bersifat informal, sehingga untuk menetapkan syarat harus memiliki izin usaha, agak sulit dilakukan. Dan, karena itu, umumnya sektor mikro tidak terjamah oleh kredit dari sektor perbankan modern. Mereka biasanya mengakses sumber kredit yang bersifat informal pula, seperti pinjaman ke saudara, koperasi, credit unions dan bahkan ke rentenir (lintah darat). Mereka rela membayar  bunga pinjaman kredit yang begitu tinggi, karena memang mereka tidak mampu mengakses kredit dengan persyaratan formal. Mereka ini adalah kelompok informal, jadi sumber keuangannya juga bersifat informal. Solusinya adalah menginformalkan, sebab mereka tidak memiliki jaminan. Perbankan modern harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti koperasi, asosiasi, dan sebagainya sebagai penyalur (channeling). Keuangan mikro meskipun memiliki prospek yang bagus, tetapi membutuhkan revolusi dalam pengelolaannya. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok yang mendampingi usaha mikro yang bersifat informal itu juga harus bergerak dalam kerangka pemberdayaan.